Budaya

HEGEMONI KEMISKINAN
Oleh : Kurniawan T Arief 

Ketika ada sebuah keadaan dimana letak perbedaan pencapaian nasib kehidupan seseorang semakin mengemuka, bukan berarti keadaan tersebut dijadikan control parts of hegemonies  dalam menentukan baik buruk kehidupan orang lain.

MUNGKIN ketika anda membaca sekilas tentang kata kemiskinan diatas yang menjadi judul artikel ini, ada sebuah perasaan atau image pikiran kuat yang kemudian mengartikan adanya sebuah arti tentang ketidakmampuan, ketidakberdayaan, dan kelemahan atau bahkan sebuah nasib yang melekat kepada seorang manusia  yang kurang beruntung. Ya, begitu banyak konotasi minus yang bisa diartikan dari kata diatas. Secara teori, kemiskinan adalah sebuah keadaan yang sedang terjadi karena adanya sebuah keterbatasan dalam mencapai taraf kepuasan fisik maupun non fisik yang dialami oleh satu atau golongan manusia dalam mencapai taraf kehidupannya yang  sempurna. Hampir bisa dipastikan, bahwa tidak ada satu manusia pun yang hidup di dunia ini menyenangi dengan keadaan seperti dijelaskan diatas. Hampir pasti semua manusia menginginkan sebuah keadaan dimana segala kebutuhan fisik maupun non fisik dapat terpenuhi.
Kemiskinan, semenjak peradaban manusia mengenal tolak ukur hegemoni kehidupannya adalah sebuah momok nasib yang sangat dihindari.  Ada banyak persepsi yang menghubungkan suatu keadaan dimana seorang manusia bisa dikategorikan miskin, tentu saja hal ini bukan saja terlihat dari aspek ekonomi belaka, ada aspek budaya, moral, pengetahuan, sumberdaya, dan sebagainya. Banyak orang yang  berpersepsi ketika mendengar dan menyebut kata ini, seakan akan hal itu adalah sebuah keadaan yang harus diterima oleh manusia yang bersangkutan, dan kemiskinan selalu dianggap sebagai ekses (baca:imbas) dari adanya satu golongan yang lebih kaya, lebih bisa, dan lebih mampu dari orang yang lebih miskin, lebih lemah dan lebih terbatas dalam taraf pencapaian kepuasan kehidupannya. Celakanya, terkadang adanya  anggapan tersebut menjadi pembenaran dalam melakukan kesewenangan perilaku, pelanggaran nilai keadilan, atau bahkan penindasan oleh satu manusia kepada manusia lainnya. Dalam prinsip nilai kemanusiaan dan solidaritas, tidak ada satu pun alasan yang bisa membenarkan segala tindakan yang merendahkan derajat nilai penghormatan manusia antar manusia lainnya dari adanya ekses perbedaan tersebut.
Betapa jika direnungkan dengan realita yang sedang populis saat ini, dimana kemiskinan menjadi sebuah real factual yang mesti dihadapi oleh segenap umat manusia. Tentu saja bukan hanya kemiskinan pencapaian taraf ekonomi saja, namun bangsa Indonesia saat ini dihadapkan kepada kemiskinan moral yang akut, kemiskinan derajat kemajuan IPTEK , dan kemiskinan kedaulatan bangsa. Bangsa ini dihadapkan kepada persoalan yang serius yang terus menerus menjadi buaian perilaku minus pemerintah terhadap warganya, eksekutif kepada rakyatnya, kaum capital kepada pekerja buruhnya dll.
Dari bidang ekonomi sampai dengan pendidikan pun, harus kita sadari Bangsa Indonesia saat ini telah terjerumus system kemafiaan atau system jual beli (Komersialisasi) yang dominan, dimana peran tolak ukur nilai kesejahteraan yang lebih kuat dapat lebih leluasa memutuskan keadaan. Masih di ingat oleh penulis dalam beberapa bulan kebelakang, ada sebuah sekolah menengah atas negeri di daerah Wilayah 3 Cirebon yang mewajibkan pemilikan notebook/laptop bagi setiap siswa yang baru mendaftarkan diri, atau beberapa sekolah yang membebankan tarif sangat tinggi kepada orang tua calon siswa yang akan mendaftar di sekolah yang berstatus RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional ) dan alasan pihak sekolah saat itu, mahalnya biaya tersebut untuk menutupi biaya operasional sekolah yang tinggi, padahal sebenarnya beban biaya sekolah – sekolah tersebut ditanggung oleh dana kompensasi Pendidikan yang bersumber dari APBD dan APBN yang besaran nominalnya tak sedikit. ketika melihat realita diatas, dimana sense of justice yang bisa diperoleh rakyat , kemanakah jaminan pemenuhan Hak bagi rakyat miskin, bahkan dalam memperoleh jaminan penyelenggaraan pendidikan saja sangat terbatasi oleh pengkotakan kemampuan ekonomi (bukan kemampuan otak). Ironis memang, ketika Bangsa ini yang secara teori hukum dan persepsi adalah Negara yang berdaulat dan merdeka namun belum mampu menyelanggarakn kemerdekaan dan kedaulatan hidup yang hakiki bagi golongan warganya yang tersingkirkan (warga marginal).
           Lalu diceritakan tentang sebuah kasus di luar negeri, terdapat sebuah pabrik korek api di brazil di mana di tempat itu, anak-anak, kebanyakan perempuan, bekerja enam hari, 60 jam kerja seminggu, dengan bahan kimia beracun, dengan upah tiga dolar seminggu! Sungguh sebuah penggambarang yang tidak seimbang tentang sebuah penghargaan akan nilai kemanusiaan tentunya. Kemudian dalam sebuah surat pada The Economist tertanggal 15 September 1993 tertulis bahwa: "Orang-orang tua memang menyadari nilai pendidikan bagi masa depan anak-anak mereka tapi seringkali kemiskinan mereka telah mencapai tingkat sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan dapat bertahan tanpa upah dari anak-anak mereka yang bekerja." (Reason in Revolt bab. 19). Kehidupan kita saat ini, ditentukan oleh diri kita sendiri dan bukan ditentukan oleh orang lain. Keterbatasan materiil bukanlah menjadi sebuah alasan bisa ditindas, dan kemiskinan bukanlah menjadi sebuah alasan kenapa kita bisa tertindas oleh si penindas. Bangsa ini masih terus membutuhkan sumbangsih pembelaan terhadap warga marginal yang tidak tercapai hak-haknya, siapa lagi jika bukan kita (mahasiswa & pemuda) yang mengetahui dan wajib mengerti tentang kewajibanmu terhadap bangsa melalui penyadaran dan pendewasaan manusia melalui pendidikan. Dijelaskan oleh Martin Luther King Jr (seorang aktivis Hak sipil dan Peraih nobel perdamaian tahun 1964, berkewarganegaraan Amerika serikat) bahwa Kemerdekaan tidak diberikan begitu saja oleh pihak penindas, karena itu sang tertindaslah yang harus memperjuangkannya. Ketika ada sebuah keadaan dimana letak perbedaan pencapaian nasib kehidupan seseorang semakin mengemuka, bukan berarti keadaan tersebut dijadikan control parts of hegemonies ( Alat Kontrol Hegemoni ) dalam menentukan baik buruk kehidupan orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar