Oleh : Kurniawan T Arief
Barangkali sudah banyak orang tahu bahwa perlawanan dan perjuangan yang berlaku di banyak tempat2 di dunia kebanyakan muncul berdasarkan ketidak sesuaian keaadan yang sebagaimana mestinya di alami. Banyaknya ketimpangan, ketidakadilan dan adanya salah satu atau banyak pihak yang dikorbankan menimbulkan sebuah pertanyaan besar, bagaimana hal itu bisa terjadi. Kenapa manusia dan manusia lainnya berlaku tidak adil, dan siapa pulakah yang akan melawan ketidakadilan itu. sebagian orang skeptik pun menjawab dengan ala kadarnya ( yang biasa disebut hukum rimba ) siapa yang kuat maka dialah yang akan menang.
tentu saja konsep pemahaman diatas ( bagi penulis ) adalah sebuah pengkonsepan pemikiran lemah yang lahir dan timbul dari sebuah proses ketakutan akan satu atau banyak kelemahan yang dimiliki oleh dirinya. Sebuah konsep sempit yang diamini oleh sebagian masyarakat saat ini, mereka yang berpandangan seperti itu dengan tidak sadar barangkali terjebak dalam corak turunan feodalism. Dimana adanya pengkategorian dan penggolongan masyarakat dianggap sebagai sebuah rule yang bersifat nyata. Pandangan – pandangan yang seperti inilah yang senantiasa berhasil menjebak paradigma masyarakat terhadap kepasrahan dan ketidakberdayaan atau bahkan kemustahilan manakala ada sebuah penindasan atau penghisapan yang sedang terjadi baik pada diri pribadi maupun orang lain.
Ada sebuah pendapat, Manusia tidak pernah bisa melepaskan diri dari keadaan sekelilingnya, darimana ia hidup, dibesarkan oleh bumi dan darimana ia berakar[1]. Sangat menarik ketika penulis membaca kutipan diatas, dimana terdapat sebuah penyimpulan bahwa setiap alur pemikiran , konsep perilaku, tabiat dan pola aktualisasi hidup seorang manusia tidak lepas atas sebuah proses pada saat manusia tersebut dibesarkan. Nah, barangkali penulis disini akan mencoba sedikit menghubungkannya berkaitan dengan keadaan think of rule live masyarakat saat ini.
Adanya sebuah penjebakan yang tercetak sekian lama dalam mindculture rakyat bangsa ini selama hampir 4 abad ( masa Kolonial hingga orba ) secara sadar telah menciptakan mental masyarakat ‘budak’ sebuah pemaknaan[2] dimana tiada kata perlawanan dan perjuangan hak yang terlintas dalam pemikiran seorang manusia yang kadung menganggap penjebakan ini dimaksudkan kepada penyerapan makna dari kodrati, nasib yang harus mereka terima, atau bahkan takdir. Dalam pengertiannya, masyarakat Budak digunakan sebagai istilah perumpaan bagi culture kepasrahan masyarakat yang menerima atas ketidakadilan (penghisapan) yang terjadi dan cenderung dianggap sebagai sebuah kebiasaan yang lazim. Hal inilah yang barangkali senantiasa menghambat alur proses perubahan masyarakat dimana kedaulatan, keadilan, kemanusiaan , kesetaraan rakyat berlaku menjadi sebuah keutamaan pandangan bagi segenap aspek bagian masyarakat itu sendiri. Dimana akses-akses akan sebuah pendambaan masyarakat yang adil demokratis tidak lagi berdasar kepada pemenuhan kepentingan sepihak semata, hingga akhirnya dapat menjadi sebuah keniscayaan mutlak bagi setiap manusia-manusia baru yang dilahirkan di muka bumi akan terwujud dengan konsepsi pola kebiasaan masyarakat yang tidak mudah menerima sebuah keadaan yang terjadi dan menjunjung nilai-nilai demokratis baik individu maupun kolektif.
Namun memang terkadang, suatu pemikiran revolusioner tidak dapat diterapkan begitu saja dalam masyarakat tertentu. Setiap masyarakat mempunyai ciri sendiri - sendiri sehingga tidak dapat digeneralisasi[3] sehingga disinilah letak modifikasi kritis dibutuhkan agar bisa menciptakan alur- alur kesepadanan dalam pola tata nilai kemasyarakatan. Sebuah Modifikasi kritis yang berisi prinsip- prinsip kebebasan dan kerakyatan. Dan Yang terpenting barangkali dibebankannya kembali kewajiban sosial pada tiap-tiap individu untuk mengembangkan dan memelihara solidaritas sosial secara global. Lalu yang menjadi pertanyaan kemudian adalah siapa yang paling berpeluang menempatkan nilai-nilai tersebut menjadi sebuah maskot identitas sosial masyarakat di Indonesia, masyarakat secara keseluruhan dan identitas jatidiri bangsa di masa-masa yang akan datang?
Mungkin saja penelitian-penelitian yang lebih komprehensif akan perlu dilakukan untuk mengetahui faktor apakah yang memainkan domain mayoritas dalam artikulasi perlawanan kekecewaan dan ketidakadilan yang sudah terjadi. Bahkan dalam sejarah sosial politik kita, rangkaian peristiwa yang bernuansa represifitas hampir selalu menjadi dominansi warna atas pengkontrolan dari gerakan-gerakan perlawanan terhadap penindasan dan penghisapan yang selalu dilakukan terhadap rakyat yang lemah.
Memori kolektif inilah yang harus secara efektif mendorong obsesi politik sosial kemasyarakatan yang lebih besar dengan memanfaatkan era demokrasi sebagai kesempatan emas untuk mendirikan sebuah pedagogi massal bercorak sosialisme dimana nilai-nila kemanusiaan, keadilan demokrasi dan kebebasan terserap dalam ekspresi kehidupan berbangsa, yang tak lain tentu saja menuju pada keinginan untuk merdeka secara mendasar dan mutlak. Karena moralitas dan pola berfikir masyarakat yang mudah pasrah atas sebuah kondisi yang menyimpang dapat menghambat pencapaian demokratisasi di masyarakat, dan hal ini dapat memelihara kekuasaan tiran yang semakin leluasa untuk melakukan eksploitasi di masyarakat dalam bidang ekonomi,sosial,budaya, politik dan bidang lainnya baik itu melalui saluran kontitusional maupun saluran publik lainnya. Percayalah, keinginan itu baru menjadi absah bila semua corak dan gaya di setiap proses sentuhan kehidupan selalu mempertimbangkan keadilan dan hak asasi manusia yang bersungguh-sungguh memperlihatkan proses kesadaran bersama.
Daftar Pustaka.
* Soe Hok Gie. Di Bawah Lentera Merah. Jakarta september 1964
* P.Y. Nur Indro. Pemikiran Politik Soetan Sjahrir Dan Partai Sosialis Indonesia tentang sosialisme demokrasi.Inisiatif warga, Media parahyangan & UKM Pusik parahyangan. Bandung 2009
* Rocky Gerung.Citizenship dan Politik Indonesia.Forum Masyarakat Terbuka, Jakarta 31 Agustus 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar