Sabtu, 09 April 2011

DEMOKRASI EKONOMI dan INDONESIA

OLEH : KURNIAWAN TRIWIDYA ARIEF
Disampaikan dalam diskusi Gerakan Mahasiswa Sosialis
Cirebon, 27 Agustus 2010.

SAMPAI saat ini, Indonesia masih dihadapkan kepada permasalahan Ekonomi yang cukup rumit, dan tentu saja hal itu berimbas kepada persoalan kemiskinan yang relatif tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan angka kemiskinan pada tahun 2010 mencapai 13,5 persen. Hal ini tidak banyak yang berubah seperti yang tercatat pada tahun 2009 sebesar 14,15 persen atau sebanyak 32,53 juta jiwa. (Sumber.kompas 20 juli 2010). Dari data yang terangkum tersebut, dapat dilihat bahwa tingginya persentase angka kemiskinan mengindikasikan konsep dan model yang dipakai dalam mengentaskan kemiskinan di negara ini belum mampu mengangkat taraf sosial ekonomi  masyarakat yang tangguh dan stabil, semakin menunjukkan bahwa permasalahan orientasi pembangunan ekonomi yang kurang berpihak kepada golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah

FUNGSI PEMERINTAH
Dalam pembahasan mengenai peran pemerintah, biasanya sebagian orang menerima begitu saja peraturan – peraturan yang dibuat pemerintah seolah-olah memang sudah seharusnya terjadi. Namun apa sebenarnya fungsi pemerintah secara khusus di bidang ekonomi ?, menurut Paul A Samuelson & William D Nordhaus (1988) ada tiga fungsi pokok ekonomi yang diemban oleh pemerintah yaitu efisiensi, keadilan dan stabilitas.
            Apabila kita mengkaitkan dengan ketiga fungsi dasar tersebut, tindakan pemerintah Yang seharusnya ialah menyangkut efisiensi berupa segala upaya untuk memperbaiki kegagalan pasar seperti misalnya mencegah adanya praktik monopoli pasar yang biasanya dilakukan oleh kalangan pemodal besar, atau tindakan pemerintah untuk mencakup nilai keadilan, seperti pemerataan pendapatan agar mencerminkan kepentingan seluruh masyarakat, termasuk golongan miskin dan tertindas (baca:rakyat dunia ketiga[1]). Sedangkan kebijakan stabilisasi, adalah dengan berusaha mengikis fluktuasi tajam dari siklus ekonomi (Business cycle) dengan cara menekan angka pengangguran dan inflasi, serta mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. Ada beberapa asumsi teoritis tentang peran strategis pemerintah dalam memegang peranan utama di negara-negara di dunia. Sebut saja model planning dari India di mana pemerintah disana memegang peran commanding heights of the economy

EKONOMI PASAR SOSIAL
Ketika kita membahas konsep ekonomi pasar sosial, baiknya kita merunut kembali pada sejarah permulaannya. Konsep ekonomi pasar sosial  pertama kali mengacu kepada suatu konsep sistem ekonomi yang dibangun di Jerman pasca perang dunia ke II. Pada masa itu, konsep ‘sosial’ yang daripada pengembangan dari konsep ‘sosialis’, menginginkan suatu sistem perekonomian di jerman yang mampu mendorong munculnya kemakmuran akan tetapi juga dapat memberikan perlindungan terhadap buruh dan kelompok masyarakat lain yang tidak mampu mengikuti tuntutan kompetisi yang berat di dalam sistem ekonomi pasar pasca perang dunia ke II. Namun kondisi ekonomi jerman yang hancur setelah perang dunia ke II pun memberikan andil pada penerapan pilihan sistem ini.
Ada konsep yang berdekatan dengan paham  ini, ialah ordnungspolitica[2] yang dapat diartikan sebagai tatanan yang dalam pemahaman ini ialah ekonomi, masyarakat dan politik menjadi suatu kesatuan terstruktur namun bukan dalam kesatuan yang diktatorial. Adalah Ludwig Erhard (1897-1977) seorang berkebangsaan jerman yang mengemukakan konsep pasar sosial sebagai jalan keluar perekonomian jerman yang memburuk pasca perang dunia ke II. Pendeknya, ekonomi pasar sosial menolak kapitalisme laissez-faire[3] mentah melainkan justru lebih memilih peran negara yang kuat dalam membentuk dan menjamin aturan ekonomi pasar, yang disebut “ordnungspolitik” (kebijakan membentuk tatanan hukum bagi perekonomian), yang sama sekali tidak mencampuri mekanisme pasar itu sendiri namun melindungi kebebasan perjanjian (kontrak) dan hak-hak kepemilikan pribadi dari kesewenangan campur tangan pihak ketiga. Sebenarnya, apabila dikaitkan dalam kondisi di indonesia, tatanan hukum bagi perekonomian dan kesejahteraan bagi warga negara sudah cukup termakhtub di dalam pasal no 33 UUD 1945 dimana adanya penekanan fungsi dan kewenangan negara dalam mengelola kebaikan strategis bagi orang banyak berada di tangan negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyatnya.
Namun seperti yang sedang dan sudah terjadi, pasal 33 UUD 1945 tetap ada akan tetapi swasta asing dan dalam negeri diizinkan menanam modal dan mengelola perusahaannya di berbagai sektor yang penting dan strategis, bahkan yang menguasai kehidupan orang banyak tersebut, dan hal ini meleset dari konsep yang dibahas di muka paragraf tentang tujuan sistem ekonomi pasar sosial dengan ordungspoliticanya. Kemudian yang menjadi pertanyaan kita semua adalah, apakah tatanan regulasi dalam menjamin terciptanya kondisi perekonomian yang ideal bagi seluruh warga negara dapat tercapai dengan tidak melupakan 3 tugas pokok strategis negara untuk menerapkan efisiensi, keadilan dan stabilitas di dalam sistem perekonomian indonesia ke depan, dengan berbagai tantangan serta hambatan yang sudah dominan membatasi peran negara dalam memainkan perannya di dalam sistem perekonomian yang cenderung ‘bergantung’ kepada mekanisme pasar dan konsep the invisible hands[4] yang di cetuskan oleh adam smith[5]?, sudah jelas adanya, saat ini indonesia di hadapkan kepada bayang hitam neoliberalisasi pasar yang terkamuflase di dalam manisnya buian era globalisasi.

EKONOMI KERAKYATAN (DEMOKRASI EKONOMI)
Ekonomi kerakyatan sesungguhnya telah berlangsung jauh sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Pada mulanya adalah Bung Hatta, di tengah-tengah dampak buruk depresi ekonomi dunia yang tengah melanda Indonesia ketika itu, dia menulis sebuah artikel dengan judul Ekonomi Rakyat di harian Daulat Rakyat (Hatta, 1954). Dalam artikel yang diterbitkan tanggal 20 Nopember 1933 tersebut, Bung Hatta secara jelas mengungkapkan kegusarannya dalam menyaksikan kemerosotan kondisi ekonomi rakyat Indonesia di bawah tindasan pemerintah Hindia Belanda. Mohammad Hatta menyebutkan bahwa perekonomian Indonesia dieksploitasi oleh kolonialisme sehingga keadilan dan pemerataan ekonomi perlu ditegakkan. Ini menjadi dasar pemikiran ekonomi kerakyatan yang pada dasarnya adalah ekonomi sosialis dengan tujuan utama pemerataan kesejahteraan. Yang dimaksud dengan ekonomi rakyat oleh Bung Hatta[6] ketika itu tentu tidak lain dari ekonomi kaum pribumi atau ekonomi penduduk asli Indonesia. Dibandingkan dengan ekonomi kaum penjajah yang berada di lapisan atas, dan ekonomi warga timur asing yang berada di lapisan tengah, ekonomi rakyat Indonesia ketika itu memang sangat jauh tertinggal.
Sedemikian mendalamnya kegusaran Bung Hatta menyaksikan penderitaan rakyat pada masa itu, maka tahun 1934 beliau kembali menulis sebuah artikel dengan nada serupa. Judulnya kali ini adalah Ekonomi Rakyat Dalam Bahaya (Hatta, 1954). Dari judulnya dengan mudah dapat diketahui betapa semakin mendalamnya kegusaran Bung Hatta menyaksikan kemerosotan ekonomi rakyat Indonesia di bawah tindasan pemerintah Hindia Belanda. Tetapi sebagai seorang ekonom yang berada di luar pemerintahan, Bung Hatta tentu tidak bisa berbuat banyak untuk secara langsung mengubah kebijakan ekonomi pemerintah. Untuk mengatasi kendala tersebut, tidak ada pilihan lain bagi Bung Hatta kecuali terjun secara langsung ke gelanggang politik.
Dalam pandangan Bung Hatta, perbaikan kondisi ekonomi rakyat hanya mungkin dilakukan bila kaum penjajah disingkirkan dari negeri ini. Artinya, bagi Bung Hatta, perjuangan merebut kemerdekaan sejak semula memang diniatkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Walau pun demikian, sebagai seorang ekonom pejuang, tidak berarti Bung Hatta serta merta meninggalkan upayanya untuk memperkuat ekonomi rakyat melalui perjuangan ekonomi. Tindakan konkret yang dilakukan Bung Hatta untuk memperkuat ekonomi rakyat ketika itu adalah dengan menggalang kekuatan ekonomi rakyat melalui pengembangan koperasi. Terinspirasi oleh perjuangan kaum buruh dan tani di Eropa, Bung Hatta berupaya sekuat tenaga untuk mendorong pengembangan koperasi sebagai wadah perjuangan ekonomi rakyat. Kemudian Bung Hatta menafsirkan demokrasi sebagai demokrasi sosial yang mementingkan hak rakyat untuk berkiprah mencari kesejahteraannya, dan dalam hal ini Bung Hatta memandang koperasi sebagai bentuk usaha yang paling sesuai karena bersemangat “gotong royong”. Dalam ekonomi kerakyatan, yang diharapkan paling berkembang adalah masyarakat kecil, yang banyak terlibat di sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan.
Perbincangan mengenai ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi memang tidak dapat dipisahkan dari Bung Hatta. Sebagai Bapak Pendiri Bangsa dan sekaligus sebagai seorang ekonom pejuang, Bung Hatta tidak hanya telah turut meletakkan dasar-dasar penyelenggaraan sebuah negara merdeka dan berdaulat berdasarkan konstitusi. Beliau juga inemainkan peranan yang sangat besar dalam meletakkan dasar-dasar penyelenggaraan perekonomian nasional berdasarkan ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi. Bahkan, sebagai Bapak Koperasi Indonesia, Bung Hatta lah yang secara konsisten dan terus menerus memperjuangkan tegaknya kedaulatan ekonomi rakyat dalam penyelenggaraan perekonomian Indonesia.
Landasan konstitusional sistem ekonomi kerakyatan adalah Pasal 33 UUD 1945. Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, dimana produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawali pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat secara kolektif. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan, dan bentuk unit usaha yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Berdasarkan bunyi kalimat pertama dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945, dapat ditekankan bahwa substansi ekonomi kerakyatan dalam garis besarnya mencakup tiga hal sebagai berikut.
Pertama, partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses produksi nasional. Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses produksi nasional ini menempati kedudukan yang sangat penting dalam sistem ekonomi kerakyatan. Hal itu tidak hanya penting untuk menjamin pendayagunaan seluruh potensi sumberdaya nasional, tetapi juga sebagai dasar untuk memastikan keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam menikmati hasil produksi nasional. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan, "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian."
Kedua, partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut menikmati hasil produksi nasional. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan, harus ada jaminan bahwa setiap anggota masyarakat turut menikmati hasil produksi nasional, termasuk para fakir miskin dan anak-anak terlantar. Hal itu antara lain dipertegas oleh Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan, "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara." Dengan kata lain, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, negara wajib menyelenggarakan sistem jaminan sosial bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar di Indonesia.
Ketiga, kegiatan pembentukan produksi dan pembagian hasil produksi nasional itu harus berlangsung di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, anggota masyarakat tidak boleh hanya menjadi objek kegiatan ekonomi. Setiap anggota masyarakat harus diupayakan agar menjadi subjek kegiatan ekonomi. Dengan demikian, walaupun kegiatan pembentukan produksi nasional dapat dilakukan oleh para pemodal asing, tetapi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan itu harus tetap berada di bawah pimpinan dan pengawasan angota-anggota masyarakat.
Unsur ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi yang ketiga tersebut saya kira perlu digarisbawahi. Sebab unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga itulah yang mendasari perlunya partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut memiliki modal atau faktorfaktor produksi nasional. Perlu diketahui, yang dimaksud dengan modal dalam hal ini tidak hanya terbatas dalam bentuk modal material (material capital), tetapi mencakup pula modal intelektual (intelectual capital) dan modal institusional (institusional capital). Sebagai konsekuensi logis dari unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga itu, negara wajib untuk secara terus menerus mengupayakan terjadinya peningkatkan kepemilikan ketiga jenis modal tersebut secara relatif merata di tengah-tengah masyarakat. Sehubungan dengan modal material, misalnya, negara tidak hanya wajib mengakui dan melindungi hak kepemilikan setiap anggota masyarakat. Negara juga wajib memastikan bahwa semua anggota masyarakat turut memiliki modal material. Jika ada di antara anggota masyarakat yang sama sekali tidak memiliki modal material, dalam arti terlanjur terperosok menjadi fakir miskin atau anak-anak terlantar, maka negara wajib memelihara mereka.

EKONOMI SOSIALIS INDONESIA
Dalam membicarakan tatanan sosio-politik-ekonomi yang ideal, sering muncul wacana untuk menemukan jalan tengah antara dua sistem yang berlaku , antara kapitalisme dan sosialisme. Sjahrir adalah salah satu perintis pencarian jalan itu, yang tertuang dalam konsep Sosialisme Indonesia. Pertanyaannya, mungkinkah ada jalan tengah versi Indonesia? Mungkinkah menyatukan dua isme yang ibarat minyak dan air? Di negara-negara kapitalis modern yang maju berlaku demokrasi politik, namun tidak mengenal demokrasi ekonomi. Dalam sejarah pergerakan kemerdekaan di Indonesia, kita mengenal para tokoh termasuk Soekarno dan Hatta, yang berkeyakinan membangun masyarakat dan negeri ini atas prinsip-prinsip sosialisme. Namun, di antara tokoh-tokoh itu, mungkin hanya Sjahrir yang paling tegas dan nyata dalam keyakinan dan perjuangan. Ia bukan saja mendirikan partai politik (PSI) untuk mewujudkan keyakinannya, tetapi sebelumnya juga telah memikirkan secara mendalam paham sosialisme apa yang paling cocok untuk Indonesia. Sjahrir tegas membedakan paham sosialisme yang hendak diperjuangkannya di Indonesia dengan sosialisme yang ada di Eropa Barat maupun sosialisme yang ditawarkan komunis. Pergumulannya atas paham-paham sosialisme di Eropa Barat dan kekhawatirannya akan komunisme totaliter membawanya pada pemikirannya tentang sosialisme yang sesuai bagi Indonesia, yaitu sosialisme-kerakyatan.Mencari synthese antara paham sosialisme (yang normatip terhadap ideal pemerataan) dengan ekonomi liberal yang berdasar prinsip-prinsip mekanisme pasar (yang menekankan efisiensi dari sistim alokasi) mungkin menjadi “pencarian kebenaran” (searching for the truth) yang tak ada hentinya untuk kemajuan dan jalan keluar perekonomian indonesia.
Segala kebaikan yang didapat dari paham sosialisme dengan sistem ekonomi pasar sosial dan ekonomi kerakyatannya bisa menjadi penawar dari ‘racun’ kapitalisme yang sudah merasuk kedalam ‘urat nadi’ perekonomian indonesia. Demi menghindari timbulnya ‘korban’ dari masyarakat yang lebih banyak dikarenakan sistem perekonomian yang absurd dewasa ini,  Apakah bentuk usaha koperasi satu-satunya yang bisa “diandalkan” atau harus dipandang sebagai salah suatu bentuk usaha dan pelaku di perekonomian nasional ? perlu adanya perlindungan yang lebih mendalam kepada anggota masyarakat dengan pembentukan lembaga-lembaga Ekonomi rakyat yang berbentuk koperasi yang benar-benar Indonesia?. Semua hal diatas tidak akan terwujud tanpa adanya kebijakan kontitusional yang bersifat kedaulatan rakyat, deregulasi harus bergulir sebagai produk kontitusi melalui instrumen Negara yang berdemokrasi ekonomi.

Daftar Referensi :
-          Paul E Samuelson & William D Nordhaus, Ekonomi , Penerbit Jaka Wasana Jakarta,1988
-          Revrisond Baswir, Ekonomi Rakyat dan Koperasi Sebagai Sokoguru Perekonomian Nasional ,Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan      UGM, Jogjakarta
-          M Husni Thamrin, Ekonomi Pasar Sosial, FES Jakarta, 2006
-          Koran Harian kompas, juli 2010
-          http//www.Wikipedia.or.id
-                http://sosialis-indonesia.org



[1] Sebutan perumpaan bagi golongan masyarakat yang terpinggirkan,tertindas, miskin dan terbatasi hak-hak politiknya secara wajar di karenakan imbas sistem kebijakan negara yang kurang tepat.
[2]  Penataan kebijaksanaan ekonomi
[3] Laissez-faire adalah sebuah frase bahasa Perancis yang berarti "biarkan terjadi" (secara harfiah "biarkan berbuat"). Istilah ini berasal dari diksi Perancis yang digunakan pertama kali oleh para psiokrat di abad ke 18 sebagai bentuk perlawanan terhadap intervensi pemerintah dalam perdagangan. Laissez-faire menjadi sinonim untuk ekonomi pasar bebas yang ketat selama awal dan pertengahan abad ke-19. Secara umum, istilah ini dimengerti sebagai sebuah doktrin ekonomi yang tidak menginginkan adanya campur tangan pemerintah dalam perekonomian.
[4]     Menurut J. Adam Smith, yang mempopulerkannya ialah istilah ekonomi yang menjelaskan sifat pasar yang dapat mengatur dirinya sendiri.
[5]    John Adam Smith (lahir di Kirkcaldy, Skotlandia, 5 Juni 1723 – meninggal di Edinburgh, Skotlandia, 17 Juli 1790 pada umur 67 tahun), adalah seorang filsuf berkebangsaan Skotlandia yang menjadi pelopor ilmu ekonomi modern. Karyanya yang terkenal adalah buku An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (disingkat The Wealth of Nations) adalah buku pertama yang menggambarkan sejarah perkembangan industri dan perdagangan di Eropa serta dasar-dasar perkembangan perdagangan bebas dan kapitalisme. Adam Smith adalah salah satu pelopor sistem ekonomi Kapitalisme, sebagian menyebutnya sebagai bapak kapitalisme.
[6]   Dr.(H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta (populer sebagai Bung Hatta, lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 12 Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun) adalah pejuang, negarawan, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Bandar udara internasional Jakarta menggunakan namanya sebagai penghormatan terhadap jasanya sebagai salah seorang proklamator kemerdekaan Indonesia. Nama yang diberikan oleh orangtuanya ketika dilahirkan adalah Muhammad Athar. Anak perempuannya bernama Meutia Hatta menjabat sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dalam Kabinet Indonesia Bersatu 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar