Minggu, 10 April 2011

Nilai Sosialisme Dalam Membangun Corak Peradaban Bangsa

Oleh : Kurniawan T Arief 
 Barangkali sudah banyak orang tahu bahwa perlawanan dan perjuangan yang berlaku di banyak tempat2 di dunia kebanyakan muncul berdasarkan ketidak sesuaian keaadan yang sebagaimana mestinya di alami. Banyaknya ketimpangan, ketidakadilan dan adanya salah satu atau banyak pihak yang dikorbankan menimbulkan sebuah pertanyaan besar, bagaimana hal itu bisa terjadi. Kenapa manusia dan manusia lainnya berlaku tidak adil, dan siapa pulakah yang akan melawan ketidakadilan itu. sebagian orang skeptik pun menjawab dengan ala kadarnya ( yang biasa disebut hukum rimba ) siapa yang kuat maka dialah yang akan menang.
tentu saja konsep pemahaman diatas ( bagi penulis ) adalah sebuah pengkonsepan pemikiran  lemah yang lahir dan timbul dari sebuah proses ketakutan akan satu atau banyak kelemahan yang dimiliki oleh dirinya. Sebuah konsep sempit yang diamini oleh sebagian masyarakat saat ini, mereka yang berpandangan seperti itu dengan tidak sadar barangkali terjebak dalam corak turunan feodalism. Dimana adanya pengkategorian dan penggolongan masyarakat dianggap sebagai sebuah rule yang bersifat nyata. Pandangan – pandangan yang seperti inilah yang senantiasa berhasil menjebak paradigma masyarakat terhadap kepasrahan dan ketidakberdayaan atau bahkan kemustahilan manakala ada sebuah penindasan atau penghisapan yang sedang terjadi baik pada diri pribadi maupun orang lain.
Ada sebuah pendapat, Manusia tidak pernah bisa melepaskan diri dari keadaan sekelilingnya, darimana ia hidup, dibesarkan oleh bumi dan darimana ia berakar[1]. Sangat menarik ketika penulis membaca kutipan diatas, dimana terdapat sebuah penyimpulan bahwa setiap alur pemikiran , konsep perilaku, tabiat dan pola aktualisasi hidup seorang manusia tidak lepas atas sebuah proses pada saat manusia tersebut dibesarkan. Nah, barangkali penulis disini akan mencoba sedikit menghubungkannya berkaitan dengan keadaan think of rule live masyarakat saat ini.
Adanya sebuah penjebakan yang tercetak sekian lama dalam mindculture rakyat bangsa ini selama hampir 4 abad ( masa Kolonial hingga orba ) secara sadar telah menciptakan mental masyarakat ‘budak’ sebuah pemaknaan[2] dimana tiada kata perlawanan dan perjuangan hak yang terlintas dalam pemikiran seorang manusia yang kadung menganggap penjebakan ini dimaksudkan kepada penyerapan makna dari kodrati, nasib yang harus mereka terima, atau bahkan takdir. Dalam pengertiannya, masyarakat Budak digunakan sebagai istilah perumpaan bagi culture kepasrahan masyarakat yang menerima atas ketidakadilan (penghisapan) yang terjadi dan cenderung dianggap sebagai sebuah kebiasaan yang lazim. Hal inilah yang barangkali senantiasa menghambat alur proses perubahan masyarakat dimana kedaulatan, keadilan, kemanusiaan , kesetaraan rakyat berlaku menjadi sebuah keutamaan pandangan bagi segenap aspek  bagian masyarakat itu sendiri. Dimana akses-akses akan sebuah pendambaan masyarakat yang adil demokratis tidak lagi berdasar kepada pemenuhan kepentingan sepihak semata, hingga akhirnya dapat menjadi sebuah keniscayaan mutlak bagi setiap manusia-manusia baru yang dilahirkan di muka bumi akan terwujud dengan konsepsi pola kebiasaan masyarakat yang tidak mudah menerima sebuah keadaan yang terjadi dan menjunjung nilai-nilai demokratis baik individu maupun kolektif.
Namun memang terkadang, suatu pemikiran revolusioner tidak dapat diterapkan begitu saja dalam masyarakat tertentu. Setiap masyarakat mempunyai ciri sendiri - sendiri sehingga tidak dapat digeneralisasi[3] sehingga disinilah letak modifikasi kritis dibutuhkan agar bisa menciptakan alur- alur kesepadanan dalam pola tata nilai kemasyarakatan. Sebuah Modifikasi kritis yang berisi prinsip- prinsip kebebasan dan kerakyatan. Dan Yang terpenting barangkali dibebankannya kembali kewajiban sosial pada tiap-tiap individu untuk mengembangkan dan memelihara solidaritas sosial secara global. Lalu yang menjadi pertanyaan kemudian adalah siapa yang paling berpeluang menempatkan nilai-nilai tersebut menjadi sebuah maskot identitas sosial masyarakat di Indonesia, masyarakat secara keseluruhan dan identitas jatidiri bangsa di masa-masa yang akan datang?
Mungkin saja penelitian-penelitian yang lebih komprehensif akan perlu dilakukan untuk mengetahui faktor apakah yang memainkan domain mayoritas dalam artikulasi perlawanan kekecewaan dan ketidakadilan yang sudah terjadi. Bahkan dalam sejarah sosial politik kita, rangkaian peristiwa yang bernuansa represifitas hampir selalu menjadi dominansi warna atas pengkontrolan dari gerakan-gerakan perlawanan terhadap penindasan dan penghisapan yang selalu dilakukan terhadap rakyat yang lemah.
Memori kolektif inilah yang harus secara efektif mendorong obsesi politik sosial kemasyarakatan yang lebih besar dengan memanfaatkan era demokrasi sebagai kesempatan emas untuk mendirikan sebuah pedagogi massal bercorak sosialisme dimana nilai-nila kemanusiaan, keadilan demokrasi dan kebebasan terserap dalam ekspresi kehidupan berbangsa, yang tak lain tentu saja menuju pada keinginan untuk merdeka secara mendasar dan mutlak. Karena moralitas dan pola berfikir masyarakat yang mudah pasrah atas sebuah kondisi yang menyimpang dapat menghambat pencapaian demokratisasi di masyarakat, dan hal ini dapat memelihara kekuasaan tiran yang semakin leluasa untuk melakukan eksploitasi di masyarakat dalam bidang ekonomi,sosial,budaya, politik dan bidang lainnya baik itu melalui saluran kontitusional maupun saluran publik lainnya. Percayalah, keinginan itu baru menjadi absah bila semua corak dan gaya di setiap proses sentuhan kehidupan selalu mempertimbangkan keadilan dan hak asasi manusia yang bersungguh-sungguh memperlihatkan proses kesadaran bersama.
 


Daftar Pustaka.
* Soe Hok Gie. Di Bawah Lentera Merah. Jakarta september 1964
* P.Y. Nur Indro. Pemikiran Politik Soetan Sjahrir Dan Partai Sosialis Indonesia tentang sosialisme demokrasi.Inisiatif warga, Media parahyangan & UKM Pusik parahyangan. Bandung 2009
* Rocky Gerung.Citizenship dan Politik Indonesia.Forum Masyarakat Terbuka, Jakarta 31 Agustus 2007



[1] Soe hok Gie hal.59 ‘Di bawah Lentera Merah’ 1964
[2] Dalam budaya masyarakat jawa terkadang menyebut dengan sifat ‘Nrimo
[3] Konsep kemajemukan Culture

HEGEMONI KEMISKINAN

Oleh : Kurniawan T Arief 

Ketika ada sebuah keadaan dimana letak perbedaan pencapaian nasib kehidupan seseorang semakin mengemuka, bukan berarti keadaan tersebut dijadikan control parts of hegemonies  dalam menentukan baik buruk kehidupan orang lain.

MUNGKIN ketika anda membaca sekilas tentang kata kemiskinan diatas yang menjadi judul artikel ini, ada sebuah perasaan atau image pikiran kuat yang kemudian mengartikan adanya sebuah arti tentang ketidakmampuan, ketidakberdayaan, dan kelemahan atau bahkan sebuah nasib yang melekat kepada seorang manusia  yang kurang beruntung. Ya, begitu banyak konotasi minus yang bisa diartikan dari kata diatas. Secara teori, kemiskinan adalah sebuah keadaan yang sedang terjadi karena adanya sebuah keterbatasan dalam mencapai taraf kepuasan fisik maupun non fisik yang dialami oleh satu atau golongan manusia dalam mencapai taraf kehidupannya yang  sempurna. Hampir bisa dipastikan, bahwa tidak ada satu manusia pun yang hidup di dunia ini menyenangi dengan keadaan seperti dijelaskan diatas. Hampir pasti semua manusia menginginkan sebuah keadaan dimana segala kebutuhan fisik maupun non fisik dapat terpenuhi.
Kemiskinan, semenjak peradaban manusia mengenal tolak ukur hegemoni kehidupannya adalah sebuah momok nasib yang sangat dihindari.  Ada banyak persepsi yang menghubungkan suatu keadaan dimana seorang manusia bisa dikategorikan miskin, tentu saja hal ini bukan saja terlihat dari aspek ekonomi belaka, ada aspek budaya, moral, pengetahuan, sumberdaya, dan sebagainya. Banyak orang yang  berpersepsi ketika mendengar dan menyebut kata ini, seakan akan hal itu adalah sebuah keadaan yang harus diterima oleh manusia yang bersangkutan, dan kemiskinan selalu dianggap sebagai ekses (baca:imbas) dari adanya satu golongan yang lebih kaya, lebih bisa, dan lebih mampu dari orang yang lebih miskin, lebih lemah dan lebih terbatas dalam taraf pencapaian kepuasan kehidupannya. Celakanya, terkadang adanya  anggapan tersebut menjadi pembenaran dalam melakukan kesewenangan perilaku, pelanggaran nilai keadilan, atau bahkan penindasan oleh satu manusia kepada manusia lainnya. Dalam prinsip nilai kemanusiaan dan solidaritas, tidak ada satu pun alasan yang bisa membenarkan segala tindakan yang merendahkan derajat nilai penghormatan manusia antar manusia lainnya dari adanya ekses perbedaan tersebut.
Betapa jika direnungkan dengan realita yang sedang populis saat ini, dimana kemiskinan menjadi sebuah real factual yang mesti dihadapi oleh segenap umat manusia. Tentu saja bukan hanya kemiskinan pencapaian taraf ekonomi saja, namun bangsa Indonesia saat ini dihadapkan kepada kemiskinan moral yang akut, kemiskinan derajat kemajuan IPTEK , dan kemiskinan kedaulatan bangsa. Bangsa ini dihadapkan kepada persoalan yang serius yang terus menerus menjadi buaian perilaku minus pemerintah terhadap warganya, eksekutif kepada rakyatnya, kaum capital kepada pekerja buruhnya dll.
Dari bidang ekonomi sampai dengan pendidikan pun, harus kita sadari Bangsa Indonesia saat ini telah terjerumus system kemafiaan atau system jual beli (Komersialisasi) yang dominan, dimana peran tolak ukur nilai kesejahteraan yang lebih kuat dapat lebih leluasa memutuskan keadaan. Masih di ingat oleh penulis dalam beberapa bulan kebelakang, ada sebuah sekolah menengah atas negeri di daerah Wilayah 3 Cirebon yang mewajibkan pemilikan notebook/laptop bagi setiap siswa yang baru mendaftarkan diri, atau beberapa sekolah yang membebankan tarif sangat tinggi kepada orang tua calon siswa yang akan mendaftar di sekolah yang berstatus RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional ) dan alasan pihak sekolah saat itu, mahalnya biaya tersebut untuk menutupi biaya operasional sekolah yang tinggi, padahal sebenarnya beban biaya sekolah – sekolah tersebut ditanggung oleh dana kompensasi Pendidikan yang bersumber dari APBD dan APBN yang besaran nominalnya tak sedikit. ketika melihat realita diatas, dimana sense of justice yang bisa diperoleh rakyat , kemanakah jaminan pemenuhan Hak bagi rakyat miskin, bahkan dalam memperoleh jaminan penyelenggaraan pendidikan saja sangat terbatasi oleh pengkotakan kemampuan ekonomi (bukan kemampuan otak). Ironis memang, ketika Bangsa ini yang secara teori hukum dan persepsi adalah Negara yang berdaulat dan merdeka namun belum mampu menyelanggarakn kemerdekaan dan kedaulatan hidup yang hakiki bagi golongan warganya yang tersingkirkan (warga marginal).
           Lalu diceritakan tentang sebuah kasus di luar negeri, terdapat sebuah pabrik korek api di brazil di mana di tempat itu, anak-anak, kebanyakan perempuan, bekerja enam hari, 60 jam kerja seminggu, dengan bahan kimia beracun, dengan upah tiga dolar seminggu! Sungguh sebuah penggambarang yang tidak seimbang tentang sebuah penghargaan akan nilai kemanusiaan tentunya. Kemudian dalam sebuah surat pada The Economist tertanggal 15 September 1993 tertulis bahwa: "Orang-orang tua memang menyadari nilai pendidikan bagi masa depan anak-anak mereka tapi seringkali kemiskinan mereka telah mencapai tingkat sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan dapat bertahan tanpa upah dari anak-anak mereka yang bekerja." (Reason in Revolt bab. 19). Kehidupan kita saat ini, ditentukan oleh diri kita sendiri dan bukan ditentukan oleh orang lain. Keterbatasan materiil bukanlah menjadi sebuah alasan bisa ditindas, dan kemiskinan bukanlah menjadi sebuah alasan kenapa kita bisa tertindas oleh si penindas. 
           Bangsa ini masih terus membutuhkan sumbangsih pembelaan terhadap warga marginal yang tidak tercapai hak-haknya, siapa lagi jika bukan kita (mahasiswa & pemuda) yang mengetahui dan wajib mengerti tentang kewajibanmu terhadap bangsa melalui penyadaran dan pendewasaan manusia melalui pendidikan. Dijelaskan oleh Martin Luther King Jr (seorang aktivis Hak sipil dan Peraih nobel perdamaian tahun 1964, berkewarganegaraan Amerika serikat) bahwa Kemerdekaan tidak diberikan begitu saja oleh pihak penindas, karena itu sang tertindaslah yang harus memperjuangkannya. Ketika ada sebuah keadaan dimana letak perbedaan pencapaian nasib kehidupan seseorang semakin mengemuka, bukan berarti keadaan tersebut dijadikan control parts of hegemonies ( Alat Kontrol Hegemoni ) dalam menentukan baik buruk kehidupan orang lain.

Sabtu, 09 April 2011

DEMOKRASI EKONOMI dan INDONESIA

OLEH : KURNIAWAN TRIWIDYA ARIEF
Disampaikan dalam diskusi Gerakan Mahasiswa Sosialis
Cirebon, 27 Agustus 2010.

SAMPAI saat ini, Indonesia masih dihadapkan kepada permasalahan Ekonomi yang cukup rumit, dan tentu saja hal itu berimbas kepada persoalan kemiskinan yang relatif tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan angka kemiskinan pada tahun 2010 mencapai 13,5 persen. Hal ini tidak banyak yang berubah seperti yang tercatat pada tahun 2009 sebesar 14,15 persen atau sebanyak 32,53 juta jiwa. (Sumber.kompas 20 juli 2010). Dari data yang terangkum tersebut, dapat dilihat bahwa tingginya persentase angka kemiskinan mengindikasikan konsep dan model yang dipakai dalam mengentaskan kemiskinan di negara ini belum mampu mengangkat taraf sosial ekonomi  masyarakat yang tangguh dan stabil, semakin menunjukkan bahwa permasalahan orientasi pembangunan ekonomi yang kurang berpihak kepada golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah

FUNGSI PEMERINTAH
Dalam pembahasan mengenai peran pemerintah, biasanya sebagian orang menerima begitu saja peraturan – peraturan yang dibuat pemerintah seolah-olah memang sudah seharusnya terjadi. Namun apa sebenarnya fungsi pemerintah secara khusus di bidang ekonomi ?, menurut Paul A Samuelson & William D Nordhaus (1988) ada tiga fungsi pokok ekonomi yang diemban oleh pemerintah yaitu efisiensi, keadilan dan stabilitas.
            Apabila kita mengkaitkan dengan ketiga fungsi dasar tersebut, tindakan pemerintah Yang seharusnya ialah menyangkut efisiensi berupa segala upaya untuk memperbaiki kegagalan pasar seperti misalnya mencegah adanya praktik monopoli pasar yang biasanya dilakukan oleh kalangan pemodal besar, atau tindakan pemerintah untuk mencakup nilai keadilan, seperti pemerataan pendapatan agar mencerminkan kepentingan seluruh masyarakat, termasuk golongan miskin dan tertindas (baca:rakyat dunia ketiga[1]). Sedangkan kebijakan stabilisasi, adalah dengan berusaha mengikis fluktuasi tajam dari siklus ekonomi (Business cycle) dengan cara menekan angka pengangguran dan inflasi, serta mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. Ada beberapa asumsi teoritis tentang peran strategis pemerintah dalam memegang peranan utama di negara-negara di dunia. Sebut saja model planning dari India di mana pemerintah disana memegang peran commanding heights of the economy

EKONOMI PASAR SOSIAL
Ketika kita membahas konsep ekonomi pasar sosial, baiknya kita merunut kembali pada sejarah permulaannya. Konsep ekonomi pasar sosial  pertama kali mengacu kepada suatu konsep sistem ekonomi yang dibangun di Jerman pasca perang dunia ke II. Pada masa itu, konsep ‘sosial’ yang daripada pengembangan dari konsep ‘sosialis’, menginginkan suatu sistem perekonomian di jerman yang mampu mendorong munculnya kemakmuran akan tetapi juga dapat memberikan perlindungan terhadap buruh dan kelompok masyarakat lain yang tidak mampu mengikuti tuntutan kompetisi yang berat di dalam sistem ekonomi pasar pasca perang dunia ke II. Namun kondisi ekonomi jerman yang hancur setelah perang dunia ke II pun memberikan andil pada penerapan pilihan sistem ini.
Ada konsep yang berdekatan dengan paham  ini, ialah ordnungspolitica[2] yang dapat diartikan sebagai tatanan yang dalam pemahaman ini ialah ekonomi, masyarakat dan politik menjadi suatu kesatuan terstruktur namun bukan dalam kesatuan yang diktatorial. Adalah Ludwig Erhard (1897-1977) seorang berkebangsaan jerman yang mengemukakan konsep pasar sosial sebagai jalan keluar perekonomian jerman yang memburuk pasca perang dunia ke II. Pendeknya, ekonomi pasar sosial menolak kapitalisme laissez-faire[3] mentah melainkan justru lebih memilih peran negara yang kuat dalam membentuk dan menjamin aturan ekonomi pasar, yang disebut “ordnungspolitik” (kebijakan membentuk tatanan hukum bagi perekonomian), yang sama sekali tidak mencampuri mekanisme pasar itu sendiri namun melindungi kebebasan perjanjian (kontrak) dan hak-hak kepemilikan pribadi dari kesewenangan campur tangan pihak ketiga. Sebenarnya, apabila dikaitkan dalam kondisi di indonesia, tatanan hukum bagi perekonomian dan kesejahteraan bagi warga negara sudah cukup termakhtub di dalam pasal no 33 UUD 1945 dimana adanya penekanan fungsi dan kewenangan negara dalam mengelola kebaikan strategis bagi orang banyak berada di tangan negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyatnya.
Namun seperti yang sedang dan sudah terjadi, pasal 33 UUD 1945 tetap ada akan tetapi swasta asing dan dalam negeri diizinkan menanam modal dan mengelola perusahaannya di berbagai sektor yang penting dan strategis, bahkan yang menguasai kehidupan orang banyak tersebut, dan hal ini meleset dari konsep yang dibahas di muka paragraf tentang tujuan sistem ekonomi pasar sosial dengan ordungspoliticanya. Kemudian yang menjadi pertanyaan kita semua adalah, apakah tatanan regulasi dalam menjamin terciptanya kondisi perekonomian yang ideal bagi seluruh warga negara dapat tercapai dengan tidak melupakan 3 tugas pokok strategis negara untuk menerapkan efisiensi, keadilan dan stabilitas di dalam sistem perekonomian indonesia ke depan, dengan berbagai tantangan serta hambatan yang sudah dominan membatasi peran negara dalam memainkan perannya di dalam sistem perekonomian yang cenderung ‘bergantung’ kepada mekanisme pasar dan konsep the invisible hands[4] yang di cetuskan oleh adam smith[5]?, sudah jelas adanya, saat ini indonesia di hadapkan kepada bayang hitam neoliberalisasi pasar yang terkamuflase di dalam manisnya buian era globalisasi.

EKONOMI KERAKYATAN (DEMOKRASI EKONOMI)
Ekonomi kerakyatan sesungguhnya telah berlangsung jauh sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Pada mulanya adalah Bung Hatta, di tengah-tengah dampak buruk depresi ekonomi dunia yang tengah melanda Indonesia ketika itu, dia menulis sebuah artikel dengan judul Ekonomi Rakyat di harian Daulat Rakyat (Hatta, 1954). Dalam artikel yang diterbitkan tanggal 20 Nopember 1933 tersebut, Bung Hatta secara jelas mengungkapkan kegusarannya dalam menyaksikan kemerosotan kondisi ekonomi rakyat Indonesia di bawah tindasan pemerintah Hindia Belanda. Mohammad Hatta menyebutkan bahwa perekonomian Indonesia dieksploitasi oleh kolonialisme sehingga keadilan dan pemerataan ekonomi perlu ditegakkan. Ini menjadi dasar pemikiran ekonomi kerakyatan yang pada dasarnya adalah ekonomi sosialis dengan tujuan utama pemerataan kesejahteraan. Yang dimaksud dengan ekonomi rakyat oleh Bung Hatta[6] ketika itu tentu tidak lain dari ekonomi kaum pribumi atau ekonomi penduduk asli Indonesia. Dibandingkan dengan ekonomi kaum penjajah yang berada di lapisan atas, dan ekonomi warga timur asing yang berada di lapisan tengah, ekonomi rakyat Indonesia ketika itu memang sangat jauh tertinggal.
Sedemikian mendalamnya kegusaran Bung Hatta menyaksikan penderitaan rakyat pada masa itu, maka tahun 1934 beliau kembali menulis sebuah artikel dengan nada serupa. Judulnya kali ini adalah Ekonomi Rakyat Dalam Bahaya (Hatta, 1954). Dari judulnya dengan mudah dapat diketahui betapa semakin mendalamnya kegusaran Bung Hatta menyaksikan kemerosotan ekonomi rakyat Indonesia di bawah tindasan pemerintah Hindia Belanda. Tetapi sebagai seorang ekonom yang berada di luar pemerintahan, Bung Hatta tentu tidak bisa berbuat banyak untuk secara langsung mengubah kebijakan ekonomi pemerintah. Untuk mengatasi kendala tersebut, tidak ada pilihan lain bagi Bung Hatta kecuali terjun secara langsung ke gelanggang politik.
Dalam pandangan Bung Hatta, perbaikan kondisi ekonomi rakyat hanya mungkin dilakukan bila kaum penjajah disingkirkan dari negeri ini. Artinya, bagi Bung Hatta, perjuangan merebut kemerdekaan sejak semula memang diniatkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Walau pun demikian, sebagai seorang ekonom pejuang, tidak berarti Bung Hatta serta merta meninggalkan upayanya untuk memperkuat ekonomi rakyat melalui perjuangan ekonomi. Tindakan konkret yang dilakukan Bung Hatta untuk memperkuat ekonomi rakyat ketika itu adalah dengan menggalang kekuatan ekonomi rakyat melalui pengembangan koperasi. Terinspirasi oleh perjuangan kaum buruh dan tani di Eropa, Bung Hatta berupaya sekuat tenaga untuk mendorong pengembangan koperasi sebagai wadah perjuangan ekonomi rakyat. Kemudian Bung Hatta menafsirkan demokrasi sebagai demokrasi sosial yang mementingkan hak rakyat untuk berkiprah mencari kesejahteraannya, dan dalam hal ini Bung Hatta memandang koperasi sebagai bentuk usaha yang paling sesuai karena bersemangat “gotong royong”. Dalam ekonomi kerakyatan, yang diharapkan paling berkembang adalah masyarakat kecil, yang banyak terlibat di sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan.
Perbincangan mengenai ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi memang tidak dapat dipisahkan dari Bung Hatta. Sebagai Bapak Pendiri Bangsa dan sekaligus sebagai seorang ekonom pejuang, Bung Hatta tidak hanya telah turut meletakkan dasar-dasar penyelenggaraan sebuah negara merdeka dan berdaulat berdasarkan konstitusi. Beliau juga inemainkan peranan yang sangat besar dalam meletakkan dasar-dasar penyelenggaraan perekonomian nasional berdasarkan ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi. Bahkan, sebagai Bapak Koperasi Indonesia, Bung Hatta lah yang secara konsisten dan terus menerus memperjuangkan tegaknya kedaulatan ekonomi rakyat dalam penyelenggaraan perekonomian Indonesia.
Landasan konstitusional sistem ekonomi kerakyatan adalah Pasal 33 UUD 1945. Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, dimana produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawali pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat secara kolektif. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan, dan bentuk unit usaha yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Berdasarkan bunyi kalimat pertama dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945, dapat ditekankan bahwa substansi ekonomi kerakyatan dalam garis besarnya mencakup tiga hal sebagai berikut.
Pertama, partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses produksi nasional. Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses produksi nasional ini menempati kedudukan yang sangat penting dalam sistem ekonomi kerakyatan. Hal itu tidak hanya penting untuk menjamin pendayagunaan seluruh potensi sumberdaya nasional, tetapi juga sebagai dasar untuk memastikan keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam menikmati hasil produksi nasional. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan, "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian."
Kedua, partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut menikmati hasil produksi nasional. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan, harus ada jaminan bahwa setiap anggota masyarakat turut menikmati hasil produksi nasional, termasuk para fakir miskin dan anak-anak terlantar. Hal itu antara lain dipertegas oleh Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan, "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara." Dengan kata lain, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, negara wajib menyelenggarakan sistem jaminan sosial bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar di Indonesia.
Ketiga, kegiatan pembentukan produksi dan pembagian hasil produksi nasional itu harus berlangsung di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, anggota masyarakat tidak boleh hanya menjadi objek kegiatan ekonomi. Setiap anggota masyarakat harus diupayakan agar menjadi subjek kegiatan ekonomi. Dengan demikian, walaupun kegiatan pembentukan produksi nasional dapat dilakukan oleh para pemodal asing, tetapi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan itu harus tetap berada di bawah pimpinan dan pengawasan angota-anggota masyarakat.
Unsur ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi yang ketiga tersebut saya kira perlu digarisbawahi. Sebab unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga itulah yang mendasari perlunya partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut memiliki modal atau faktorfaktor produksi nasional. Perlu diketahui, yang dimaksud dengan modal dalam hal ini tidak hanya terbatas dalam bentuk modal material (material capital), tetapi mencakup pula modal intelektual (intelectual capital) dan modal institusional (institusional capital). Sebagai konsekuensi logis dari unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga itu, negara wajib untuk secara terus menerus mengupayakan terjadinya peningkatkan kepemilikan ketiga jenis modal tersebut secara relatif merata di tengah-tengah masyarakat. Sehubungan dengan modal material, misalnya, negara tidak hanya wajib mengakui dan melindungi hak kepemilikan setiap anggota masyarakat. Negara juga wajib memastikan bahwa semua anggota masyarakat turut memiliki modal material. Jika ada di antara anggota masyarakat yang sama sekali tidak memiliki modal material, dalam arti terlanjur terperosok menjadi fakir miskin atau anak-anak terlantar, maka negara wajib memelihara mereka.

EKONOMI SOSIALIS INDONESIA
Dalam membicarakan tatanan sosio-politik-ekonomi yang ideal, sering muncul wacana untuk menemukan jalan tengah antara dua sistem yang berlaku , antara kapitalisme dan sosialisme. Sjahrir adalah salah satu perintis pencarian jalan itu, yang tertuang dalam konsep Sosialisme Indonesia. Pertanyaannya, mungkinkah ada jalan tengah versi Indonesia? Mungkinkah menyatukan dua isme yang ibarat minyak dan air? Di negara-negara kapitalis modern yang maju berlaku demokrasi politik, namun tidak mengenal demokrasi ekonomi. Dalam sejarah pergerakan kemerdekaan di Indonesia, kita mengenal para tokoh termasuk Soekarno dan Hatta, yang berkeyakinan membangun masyarakat dan negeri ini atas prinsip-prinsip sosialisme. Namun, di antara tokoh-tokoh itu, mungkin hanya Sjahrir yang paling tegas dan nyata dalam keyakinan dan perjuangan. Ia bukan saja mendirikan partai politik (PSI) untuk mewujudkan keyakinannya, tetapi sebelumnya juga telah memikirkan secara mendalam paham sosialisme apa yang paling cocok untuk Indonesia. Sjahrir tegas membedakan paham sosialisme yang hendak diperjuangkannya di Indonesia dengan sosialisme yang ada di Eropa Barat maupun sosialisme yang ditawarkan komunis. Pergumulannya atas paham-paham sosialisme di Eropa Barat dan kekhawatirannya akan komunisme totaliter membawanya pada pemikirannya tentang sosialisme yang sesuai bagi Indonesia, yaitu sosialisme-kerakyatan.Mencari synthese antara paham sosialisme (yang normatip terhadap ideal pemerataan) dengan ekonomi liberal yang berdasar prinsip-prinsip mekanisme pasar (yang menekankan efisiensi dari sistim alokasi) mungkin menjadi “pencarian kebenaran” (searching for the truth) yang tak ada hentinya untuk kemajuan dan jalan keluar perekonomian indonesia.
Segala kebaikan yang didapat dari paham sosialisme dengan sistem ekonomi pasar sosial dan ekonomi kerakyatannya bisa menjadi penawar dari ‘racun’ kapitalisme yang sudah merasuk kedalam ‘urat nadi’ perekonomian indonesia. Demi menghindari timbulnya ‘korban’ dari masyarakat yang lebih banyak dikarenakan sistem perekonomian yang absurd dewasa ini,  Apakah bentuk usaha koperasi satu-satunya yang bisa “diandalkan” atau harus dipandang sebagai salah suatu bentuk usaha dan pelaku di perekonomian nasional ? perlu adanya perlindungan yang lebih mendalam kepada anggota masyarakat dengan pembentukan lembaga-lembaga Ekonomi rakyat yang berbentuk koperasi yang benar-benar Indonesia?. Semua hal diatas tidak akan terwujud tanpa adanya kebijakan kontitusional yang bersifat kedaulatan rakyat, deregulasi harus bergulir sebagai produk kontitusi melalui instrumen Negara yang berdemokrasi ekonomi.

Daftar Referensi :
-          Paul E Samuelson & William D Nordhaus, Ekonomi , Penerbit Jaka Wasana Jakarta,1988
-          Revrisond Baswir, Ekonomi Rakyat dan Koperasi Sebagai Sokoguru Perekonomian Nasional ,Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan      UGM, Jogjakarta
-          M Husni Thamrin, Ekonomi Pasar Sosial, FES Jakarta, 2006
-          Koran Harian kompas, juli 2010
-          http//www.Wikipedia.or.id
-                http://sosialis-indonesia.org



[1] Sebutan perumpaan bagi golongan masyarakat yang terpinggirkan,tertindas, miskin dan terbatasi hak-hak politiknya secara wajar di karenakan imbas sistem kebijakan negara yang kurang tepat.
[2]  Penataan kebijaksanaan ekonomi
[3] Laissez-faire adalah sebuah frase bahasa Perancis yang berarti "biarkan terjadi" (secara harfiah "biarkan berbuat"). Istilah ini berasal dari diksi Perancis yang digunakan pertama kali oleh para psiokrat di abad ke 18 sebagai bentuk perlawanan terhadap intervensi pemerintah dalam perdagangan. Laissez-faire menjadi sinonim untuk ekonomi pasar bebas yang ketat selama awal dan pertengahan abad ke-19. Secara umum, istilah ini dimengerti sebagai sebuah doktrin ekonomi yang tidak menginginkan adanya campur tangan pemerintah dalam perekonomian.
[4]     Menurut J. Adam Smith, yang mempopulerkannya ialah istilah ekonomi yang menjelaskan sifat pasar yang dapat mengatur dirinya sendiri.
[5]    John Adam Smith (lahir di Kirkcaldy, Skotlandia, 5 Juni 1723 – meninggal di Edinburgh, Skotlandia, 17 Juli 1790 pada umur 67 tahun), adalah seorang filsuf berkebangsaan Skotlandia yang menjadi pelopor ilmu ekonomi modern. Karyanya yang terkenal adalah buku An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (disingkat The Wealth of Nations) adalah buku pertama yang menggambarkan sejarah perkembangan industri dan perdagangan di Eropa serta dasar-dasar perkembangan perdagangan bebas dan kapitalisme. Adam Smith adalah salah satu pelopor sistem ekonomi Kapitalisme, sebagian menyebutnya sebagai bapak kapitalisme.
[6]   Dr.(H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta (populer sebagai Bung Hatta, lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 12 Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun) adalah pejuang, negarawan, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Bandar udara internasional Jakarta menggunakan namanya sebagai penghormatan terhadap jasanya sebagai salah seorang proklamator kemerdekaan Indonesia. Nama yang diberikan oleh orangtuanya ketika dilahirkan adalah Muhammad Athar. Anak perempuannya bernama Meutia Hatta menjabat sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dalam Kabinet Indonesia Bersatu 1

PERJUANGAN KAUM TANI (PERSPEKTIF PARALEGAL)


Oleh : Kurniawan T Arief

Tulisan ini didedikasikan sebagai upaya untuk memberikan gambaran bahwa perjuangan kaum tani membutuhkan support yang akan membantu mereka mendapatkan keadilan dan kesejahteraannya,...untuk Kaum Tani Indonesia.

MENURUT data Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) saat ini, di indonesia advokat terdapat ± 24 ribu, sebanyak 50 % advokat terkonsentrasi di Jakarta (Jabodetabek) dan sisanya tersebar di daerah-daerah seluruh Indonesia. Dari realitas tersebut dapat dipahami bahwa selama ini, masalah-masalah hukum yang sering terjadi kepada kaum tani yang notebene terkonsentrasi di daerah-daerah luar jakarta kurang dapat mendapat pendampingan hukum yang seimbang. Tak dapat dipungkiri, permasalahan hukum yang terjadi di indonesia hampir 90 % menimpa warga negara yang berkemampuan ekonomi rendah dengan berbagai latar belakang tindakan pelanggaran hukum yang dilakukannya. Namun keadaan tersebut berbias dengan fakta bahwa jarang sekali orang-orang miskin tersebut mendapatkan pendampingan hukum yang adil dan layak oleh advokat dan pengacara dikarenakan ketiadaan biaya dalam membayar proses pendampingan hukum yang menimpanya. 
Ketika orang-orang miskin atau para petani miskin yang banyak terdapat di daerah-daerah luar ibukota tersebut tidak mendapatkan jaminan hak pembelaan di mata hukum, siapa yang akan membela mereka? Siapa yang akan mendampingi mereka menghadapi intimidasi yang sering terjadi dalam proses hukum yang dijalaninya?, disinilah peran paralegal dibutuhkan untuk membantu perjuangan warga negara yang kurang mendapat keadilan di mata hukum. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasar hukum, tentu saja harus memberikan pengakuan dan jaminan terhadap hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945. Namun, perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara yang dilanggar, belum mendapatkan mekanisme konstitusional yang sesuai dengan prinsip-prinsip nilai keadilan.
Sejak 1970 hingga tahun 2001, menurut KPA (konsorsium pembaharuan agraria) konflik agraria tersebar di 2.834 desa/kelurahan dan 1.355 kecamatan di 286 daerah (Kabupaten/Kota). Luas tanah yang disengketakan tidak kurang dari 10.892.203 hektar dan mengorbankan setidaknya 1.189.482 KK. Kasus sengketa dan/atau konflik umumnya disebabkan kebijakan publik. Konflik yang paling tinggi intensitasnya terjadi di sektor perkebunan besar (344 kasus), disusul pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (243 kasus), perumahan dan kota baru (232 kasus), kawasan kehutanan produksi (141 kasus), kawasan industri dan pabrik (115 kasus), bendungan dan sarana pengairan (77 kasus), sarana wisata (73 kasus), pertambangan besar (59 kasus) dan sarana militer (47 kasus).

Definisi Paralegal
Paralegal adalah pekerjaan semilegal untuk membantu Pekerja Hukum (pengacara & Advokat) dalam melakukan tindakan legal (Hukum). Berbicara dalam konteks perjuangan kaum tani, hampir tidak dapat dipisahkan dengan perjuangan agraria. Dalam medan perjuangan kaum tani di lapangan Agraria, paralegal diperlukan untuk menjawab minimnya tenaga advokat guna membela petani dalam konflik agraria[1]. Paralegal juga diharapkan tidak hanya mampu untuk menjadi asisten pengacara, namun mampu memberikan pendidikan hukum kepada yang didampinginya (dalam hal ini petani) tentang apa saja hak-haknya, baik hak kontitusional[2], hak asasi manusia, maupun hak legal. Dalam situasi konflik agraria, paralegal diharapkan dapat mengupayakan berbagai metode alternatif penyelesaian sengketa atau konflik agraria, baik berupa upaya litigasi[3] maupun non litigasi.

Apa Yang Dilakukan Oleh Paralegal
Posisi Negara (yang direpresentasikan lembaga pemerintah, badan-badan usaha milik negara/daerah, maupun institusi militer) kerap muncul sebagai "lawan" rakyat. Tampilnya pemerintah sebagai lawan sengketa rakyat, sering terjadi pada berbagai jenis sengketa. Disinilah Seorang paralegal dapat melakukan bantuan hukum yang memiliki pengertian fungsi, legal aid (bantuan hukum), yaitu pemeberian jasa di bidang hukum kepada seseorang yang terlibat dalam suatu kasus atau perkara, secara cuma-cuma dan dikhusukan bagi mereka yang tidak mampu. Motivasi utamanya adalah penegakkan hukum dengan jalan pembelaan kepentingan dan Hak-hak rakyat kecil. Seorang paralegal, bahkan aktivis gerakan petani sekalipun, dapat dinamakan sebagai pembela HAM (Human Rights Defender). Didalam Hak Asasi Manusia, individu maupun organisasi masyarakat, mempunyai hak untuk melakukan pemajuan dan pembelaan HAM yang menimpa rakyat miskin dan petani-petani miskin dalam memperoleh keadilan.


[1] Konflik/sengketa yang berkenaan dengan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
[2] Jaminan terhadap kebebasan sipil atau perlindungan terhadap hak-hak sebagai warga negara yang terjamin dan tencantum dalam UUD 1945
[3] Persiapan dan presentasi dari setiap kasus, termasuk juga memberikan informasi secara menyeluruh sebagaimana proses dan kerjasama untuk mengidentifikasi permasalahan dan menghindari permasalahan yang tak terduga. mengedepankan aspek legalitas. Kecenderungan lebih memilih melalui institusi hukum/ pengadilan